Minggu, 25 Maret 2012

Satu Kata Seribu Tafsir



Oleh : Mohammad Sukri Suparto
Pembina Zona Magazine

Sudah lebih 40 empat puluh hari Gus Dur meninggalkan Negara kita Negara Indonesia, akan tetapi masih banyak yang bertasbih dan mengitari beberapa kawah candradimuka untuk memanjatkan kidung-kidung do’a yang disampaikan kepada Tuhan mereka, tujuannya tidak ada yang lain agar arwah Gus Dur diterima disisi-Nya. Banyak kita jumpai di berbagai media massa memberikan tentang betapa berdukanya bangsa Indonesia ditinggalkan oleh guru bangsa, maka tidak salah Presiden SBY memerintahkan seganap rakyat Indonesia untuk ikut menundukkan kepala atas wafatnya Gus Dur bahkan Pak SBY mengintruksikan untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari tujuh malam.
Begitulah ekpspresi rakyat Indonesia ketika ditinggalkan guru bangsa yang sudah berjasa kepada Negara Indonesia. Kita patut mengenang para jasa-jasanya meskipun beliau sendiri moh (tidak mau) untuk dikenang dan dicap sebagai Pahlawan Bangsa, beliau sendiri ingin dikenang oleh bangsa kita sebagai guru bangsa bukan pahlawan bangsa. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai tokoh yang nyentrik dan selalu berbeda dengan yang lain, kita lihat saja beberapa kejadian yang mencengangkan fikiran kita bahkan kita sendiri tidak mampu untuk menjangkau pemikirannya. Diantara lain kejadian yang menimpa Inul Dara Tista (Si Ratu Ngebor) yang dikecam oleh Raja Dangdut yaitu Bang  Haji Roma Irama. Melihat kejadian tersebut Inul minta perlindungan kepada Gus Dur. Beliaupun respeck kepada inul bahkan membelanya, kita lihat sekarang setelah kejadian itu Inul tidak lagi manggung dengan goyang ngebornya bahkan dia tampil sebagai penyanyi relegi dengan memakai jilbab.
Demikianlah sekelumit kejadian-kejadian nyentrik yang sering dilakukan oleh Gus Dur, kerena keterbatasan fikiran kita, maka kita tidak mampu untuk mejangkaunya. Hal ini senada dengan Bapak ketua Jaringan Islam Liberal Ulil Abshor Abdalla, Beliau mengatakan satu kata yang diucapkan oleh Gus Dur maka akan membuahkan beribu tafsir yang mendalam.
Oleh kerena itu dengan inisiatif yang sangat tinggi untuk mengenang pemikiran Gus Dur terbitlah buku yang berjudul “Gus Dur Pergulatan Tradisional Vs Liberal”, begitulah judul buku tersebut, yang dikarang oleh Pengasuh PP. Raudatul Falah Sidioarjo KH. Ubaidillah Ahmad. Beliau merupakan salah satu teman dekat Ulil Absor Abdalla dan sering mengkaji tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur. Berangkat dari latar belakang tersebut maka tidak diragunakan lagi tentang kredibelitas penulis buku ini.
Buku ini merupakan hasil penelitian mendalam yang dilakukan penulis terhadap dua kebudayaan yang berada di barat dan ditimur (Barat dan Islam), yang lahir dari sosok yang sama, yakni Abdurahaman Wahid atau yang sering kita kenal dengan sebutan Gus Dur. Penelitian ini menitikberatkan kepada konsep yang absolut dan yang relatif dalam pemikiran barat yang menjadi dasar pergerakan dan pergulatan pemikiran Gus Dur. Ajaran agama islam yang diwakili Gus Dur merupakan ajaran yang mampu melakukan sinetris atas berbagai aliran filsafat pemikiran islam.
Adapun filsafat pemikiran barat adalah aliran-aliran filsafat yang banyak makan asam garam membangun kehidupan yang lebih “modern dan beradab” di barat, yang kemudian dijadikan dasar pijakan Gus Dur dalam membangun kerajaan sorga di Bumi. Gus Dur dapat mengatasi semua pertentangan yang absolut dan yang relative dan dilatarbelakangi oleh kepentingan polotik komunal dalam beragama dan ambisi kekuasaan pribadi tertentu, sehingga yang tinggal adalah ajaran agama islam yang benar ya’lu wala ya’la alahi, menegakkan keadilan, HAM serta ketentraman bagi seluruh ummat manusia dibumi.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang penulis tuangkan dalam bukunya adalah : pertama, dalam bidang keagamaan, Gus Dur menurut penulis telah menyumbangkan tentang “Pribumisasi Islam”, kata pribumisasi itu mungkin terdengar agak “rasial” dan bisa menimbulkan salah paham. Tetapi, yang dimasksud oleh Gus Dur dengan pribumisasi di sini adalah pengertian yang setara dengan penyetaraan atau meletakkan suatu konsep tertentu dalam konteks kebudaan yang spesifik atau local. Dalam gagasan Gus Dur, islam pada akhirnya akan harus diletakkan dalam konteks kebudayaan pribumi atau local yang partikular, atau “jangan sampai memaksakan bentuk-bentuk islam yang datang dari negeri “lain” ke dalam konteks kehidupan masyrakat Islam di Indonesia”.
Sumbangan pemikiran Gus Dur yang kedua adalah dalam bidang politik. Di dalam bidang politk Gus Dur dengan ideologi Negara yaitu Pancasila. Masalah ini sekarang sudah selesai, akan tetapi pada tahun 1980-an pemerintah Indonesia memaksa kepada rakyatnya untuk menyeragamkan ideologi mereka dengan ideologi Pancasila. Saat ini perkara tersebut sudah tidak ada, akan tetapi pemahaman yang semacam ini harus dimiliki oleh pemerintah kita yang sekarang. Karena pemahaman mereka kalau bukan golongannya maka akan menjadi musuh dan akan menjadi duri dalam daging. Misalnya seperti KH. Ahmad Shodiq melakukan upaya keras untuk mendamaikan antara islam dan ideologi nasional.
Sumbangan pemikiran Gus Dur yang ketiga adalah beliau menganggap Islam bukanlah “ideologi tandingan” tetapi sumber nilai yang dapat diwarnai dalam kehidupan public dalam kerangka negara yang pluralistic. Sumbangan ini kita dapat perluas dalam kehidupan kenegeraan yang lebih umum. Jika ada suatu yang layak ditimba dari gagasan Gus Dur ini, maka hal ini tercermin dalam cara pandang dia dalam meletakkan Islam sebagi Rahamatan Lil’alamin.
Begitulah beberapa sumbangan pemikiran Gus Dur yang terdapat dalam buku ini, namun ada beberapa hal yang masih kurang disentuh oleh penulis tentang pemikiran Gus Dur, diantaranya adalah : perjuangan pengangkatan derajat etnis Tionghoa yang dilakukan Gus Dur semasa dia menjabat sebagai Presiden RI yang ke-4. Beliaulah yang paling getol dalam memperjuangkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia yang hampir tidak diakui dan diusir oleh pemerintah Negara Indonesia. Maka tidak salah para etnis Tionghoa yang kini tinggal di Indonesia merasa berduka cita atas wafatnya Pahlawan mereka.
Upaya yang dilakukan penulis dalam memformulasikan pemikiran Gus Dur antara tradisionalis vs libelaris masih kurang begitu mengenak. Terbukti penulis masih mengkotak-kotakkan pemikiran Gus Dur menurut pemahaman penulis sendiri. Penulis masih belum mampu mencoba mensinergikkan pemikiran Gus Dur antara tradisionalis dan liberalis. Jika hal ini mampu dilakukan oleh penulis maka buku ini bisa dikatakan sempurna dan luar biasa. Akan tetapi perlu kita apresiasi bersama karena jarang ada orang yang mampu memami pemikiran Gus Dur sendiri. Karena Gus Dur satu untuk semuanya.

Judul Buku      : GUS DUR : Pergulatan antara
Tradisionalis Vs Liberalis.
Penulis             : Ubaidillah Ahmad
Penebit            : PT Madani Ali Makmur
Tebal Buku      : 172 + XX
Peresensi         : Mohammad Sukri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR