Oleh
: Mohammad Sukri Suparto
Pembina
Zona Magazine
Sudah lebih 40 empat puluh hari Gus Dur
meninggalkan Negara kita Negara Indonesia,
akan tetapi masih banyak yang bertasbih dan mengitari beberapa kawah
candradimuka untuk memanjatkan kidung-kidung do’a yang disampaikan kepada Tuhan
mereka, tujuannya tidak ada yang lain agar arwah Gus Dur diterima disisi-Nya.
Banyak kita jumpai di berbagai media massa
memberikan tentang betapa berdukanya bangsa Indonesia
ditinggalkan oleh guru bangsa, maka tidak salah Presiden SBY memerintahkan
seganap rakyat Indonesia
untuk ikut menundukkan kepala atas wafatnya Gus Dur bahkan Pak SBY
mengintruksikan untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari
tujuh malam.
Begitulah ekpspresi rakyat Indonesia ketika ditinggalkan guru bangsa yang
sudah berjasa kepada Negara Indonesia.
Kita patut mengenang para jasa-jasanya meskipun beliau sendiri moh
(tidak mau) untuk dikenang dan dicap sebagai Pahlawan Bangsa, beliau sendiri
ingin dikenang oleh bangsa kita sebagai guru bangsa bukan pahlawan bangsa.
Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai tokoh yang nyentrik dan selalu berbeda
dengan yang lain, kita lihat saja beberapa kejadian yang mencengangkan fikiran
kita bahkan kita sendiri tidak mampu untuk menjangkau pemikirannya. Diantara
lain kejadian yang menimpa Inul Dara Tista (Si Ratu Ngebor) yang dikecam oleh
Raja Dangdut yaitu Bang Haji Roma Irama.
Melihat kejadian tersebut Inul minta perlindungan kepada Gus Dur. Beliaupun
respeck kepada inul bahkan membelanya, kita lihat sekarang setelah kejadian itu
Inul tidak lagi manggung dengan goyang ngebornya bahkan dia tampil sebagai
penyanyi relegi dengan memakai jilbab.
Demikianlah sekelumit kejadian-kejadian
nyentrik yang sering dilakukan oleh Gus Dur, kerena keterbatasan fikiran kita,
maka kita tidak mampu untuk mejangkaunya. Hal ini senada dengan Bapak ketua
Jaringan Islam Liberal Ulil Abshor Abdalla, Beliau mengatakan satu kata yang
diucapkan oleh Gus Dur maka akan membuahkan beribu tafsir yang mendalam.
Oleh kerena itu dengan inisiatif yang
sangat tinggi untuk mengenang pemikiran Gus Dur terbitlah buku yang berjudul
“Gus Dur Pergulatan Tradisional Vs Liberal”, begitulah judul buku tersebut,
yang dikarang oleh Pengasuh PP. Raudatul Falah Sidioarjo KH. Ubaidillah Ahmad.
Beliau merupakan salah satu teman dekat Ulil Absor Abdalla dan sering mengkaji
tentang pemikiran-pemikiran Gus Dur. Berangkat dari latar belakang tersebut
maka tidak diragunakan lagi tentang kredibelitas penulis buku ini.
Buku ini merupakan hasil penelitian
mendalam yang dilakukan penulis terhadap dua kebudayaan yang berada di barat
dan ditimur (Barat dan Islam), yang lahir dari sosok yang sama, yakni
Abdurahaman Wahid atau yang sering kita kenal dengan sebutan Gus Dur.
Penelitian ini menitikberatkan kepada konsep yang absolut dan yang relatif
dalam pemikiran barat yang menjadi dasar pergerakan dan pergulatan pemikiran
Gus Dur. Ajaran agama islam yang diwakili Gus Dur merupakan ajaran yang mampu
melakukan sinetris atas berbagai aliran filsafat pemikiran islam.
Adapun filsafat pemikiran barat adalah
aliran-aliran filsafat yang banyak makan asam garam membangun kehidupan yang
lebih “modern dan beradab” di barat, yang kemudian dijadikan dasar pijakan Gus
Dur dalam membangun kerajaan sorga di Bumi. Gus Dur dapat mengatasi semua
pertentangan yang absolut dan yang relative dan dilatarbelakangi oleh
kepentingan polotik komunal dalam beragama dan ambisi kekuasaan pribadi
tertentu, sehingga yang tinggal adalah ajaran agama islam yang benar ya’lu
wala ya’la alahi, menegakkan keadilan, HAM serta ketentraman bagi seluruh
ummat manusia dibumi.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang penulis
tuangkan dalam bukunya adalah : pertama, dalam bidang keagamaan, Gus Dur
menurut penulis telah menyumbangkan tentang “Pribumisasi Islam”, kata
pribumisasi itu mungkin terdengar agak “rasial” dan bisa menimbulkan salah
paham. Tetapi, yang dimasksud oleh Gus Dur dengan pribumisasi di sini adalah pengertian
yang setara dengan penyetaraan atau meletakkan suatu konsep tertentu dalam
konteks kebudaan yang spesifik atau local. Dalam gagasan Gus Dur, islam pada akhirnya
akan harus diletakkan dalam konteks kebudayaan pribumi atau local yang partikular,
atau “jangan sampai memaksakan bentuk-bentuk islam yang datang dari negeri
“lain” ke dalam konteks kehidupan masyrakat Islam di Indonesia”.
Sumbangan pemikiran Gus Dur yang kedua
adalah dalam bidang politik. Di dalam bidang politk Gus Dur dengan ideologi
Negara yaitu Pancasila. Masalah ini sekarang sudah selesai, akan tetapi pada
tahun 1980-an pemerintah Indonesia
memaksa kepada rakyatnya untuk menyeragamkan ideologi mereka dengan ideologi Pancasila.
Saat ini perkara tersebut sudah tidak ada, akan tetapi pemahaman yang semacam
ini harus dimiliki oleh pemerintah kita yang sekarang. Karena pemahaman mereka
kalau bukan golongannya maka akan menjadi musuh dan akan menjadi duri dalam
daging. Misalnya seperti KH. Ahmad Shodiq melakukan upaya keras untuk
mendamaikan antara islam dan ideologi nasional.
Sumbangan pemikiran Gus Dur yang ketiga
adalah beliau menganggap Islam bukanlah “ideologi tandingan” tetapi sumber
nilai yang dapat diwarnai dalam kehidupan public dalam kerangka negara yang
pluralistic. Sumbangan ini kita dapat perluas dalam kehidupan kenegeraan yang
lebih umum. Jika ada suatu yang layak ditimba dari gagasan Gus Dur ini, maka
hal ini tercermin dalam cara pandang dia dalam meletakkan Islam sebagi Rahamatan
Lil’alamin.
Begitulah beberapa sumbangan pemikiran Gus
Dur yang terdapat dalam buku ini, namun ada beberapa hal yang masih kurang
disentuh oleh penulis tentang pemikiran Gus Dur, diantaranya adalah :
perjuangan pengangkatan derajat etnis Tionghoa yang dilakukan Gus Dur semasa
dia menjabat sebagai Presiden
RI yang ke-4. Beliaulah yang paling
getol dalam memperjuangkan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia yang hampir tidak diakui dan diusir
oleh pemerintah Negara Indonesia.
Maka tidak salah para etnis Tionghoa yang kini tinggal di Indonesia merasa berduka cita atas
wafatnya Pahlawan mereka.
Upaya yang dilakukan penulis dalam memformulasikan
pemikiran Gus Dur antara tradisionalis vs libelaris masih kurang begitu
mengenak. Terbukti penulis masih mengkotak-kotakkan pemikiran Gus Dur menurut
pemahaman penulis sendiri. Penulis masih belum mampu mencoba mensinergikkan
pemikiran Gus Dur antara tradisionalis dan liberalis. Jika hal ini mampu
dilakukan oleh penulis maka buku ini bisa dikatakan sempurna dan luar biasa.
Akan tetapi perlu kita apresiasi bersama karena jarang ada orang yang mampu
memami pemikiran Gus Dur sendiri. Karena Gus Dur satu untuk semuanya.
Judul Buku : GUS DUR : Pergulatan antara
Tradisionalis Vs Liberalis.
Penulis : Ubaidillah Ahmad
Penebit : PT Madani Ali Makmur
Tebal Buku : 172 + XX
Peresensi : Mohammad Sukri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR