HARGA SEBUAH “KTP”
Oleh : Moh. Lutfi, M. M*
Beberapa minggu yang lalu, Pemerintah Kabupaten Sampang mengadakan program pembuatan KTP masal. Tak ayal lagi, masyarakat Sampang berbondong-bondong mendatangi kantor desa setempat untuk mendapatkan KTP. Masyarakat rela antre berjam-jam meninggalkan aktivitas sehari-harinya untuk memiliki KTP yang konon tidak dipungut biaya, tapi nyatanya harus bayar sepuluh ribu. Anehnya, masyarakat tidak ada yang protes, karena pentingnya memiliki KTP.
Saat ini, masyarakat semakin menyadari akan nilai dan harga KTP untuk diakui sebagai warga, menyelesaikan atau mencairkan segala urusan keuangan, melamar CPNS, mendaftar calon jamaah haji, semua tidak dapat dilakukan tanpa KTP. Ternyata, disamping sebagai kartu identitas, KTP punya nilai “ekonomis “ dapat “ dikomirsilkan “ dan menjamin “ketenangan “ serta “ kesejahteraan “ pemiliknya.
Sebenarnya substansi KTP hanya sebagai tanda pengenal yang bersifat formal saja. Untuk mengenal prilaku sosial seseorang, tidak cukup bila hanya melihat KTP nya, apalagi ingin mengetahui ideologinya, tentu harus membuktikan dengan “ penelitian “ tentang seberapa jauh orang tersebut mempunyai dedikasi dan loyalitas terhadap keyakinan dan pengamalan ideologi yang menjadi keyakinanya. Dalam konteks seperti ini, KTP nyaris tidak berguna walaupun dalam keadaan “ terdesak “ KTP masih diperlukan.
Sejatinya, jati diri seseorang memang harus dibuktikan dengan “ KTP “ berikut semua atribut dzohirnya, seperti penampilan, cara bergaul, dan cara ibadah yang dilandasi oleh keyakinan yang benar bahwa semua atribut dzohir tersebut merupakan “ doktrin “ agama yang diyakininya sebagaimana KTP merupakan “ doktrin “ dari suatu Negara disaat warga ingin diakui sebagai penduduk Negara tersebut.
Setiap muslim berkeyakinan bahwa dirinya bukan hanya dilahirkan dari rahim seorang ibu, tapi sesungguhnya setiap muslim bahkan setiap manusia terlahir dari rahim islam ( yuladu alal fitroh ). Menurut hadits nabi, maka setiap muslim harus membanggakan “ tumpah darahnya “ yaitu islam dan semua yang berhubungan dengan islam melebihi kebanggaan terhadap KTP nya. Kebanggaan ini perlu dibuktikan sebagaimana Islam telah dicontohkan dengan pas oleh sang bidan yang membidani kelahiran Islam itu sendiri yaitu Rasulullah Muhammad SAW.
Maka kartu pengenal seorang muslim adalah atribut-atribut muslim itu sendiri yang telah dicontohkan oleh bagida Nabi dan harus nampak didalam kehidupan sehari-hari. Tapi kenyataanya, ternyata sebagian besar dari muslim tampak “ gerogi “ dan kurang pe de serta sedikit “ pengecut “untuk membanggakan islam dalam keseharianya. Seorang polisi dengan mantap masuk ke pesantren berpakaian lengkap bahkan kadang dengan sepatunya masuk kantor pesantren tersebut, tapi mengapa santri terlihat “ agak malu “ ketika di “ doktrin “ masuk SMA dengan berkopyah?. Seorang penjual pentol dengan bebas dan leluasa masuk area jubah dan kopyah menjajakan daganganya dengan penampilan seadanya bahkan ketika “ jubah-jubah “ sudah mulai ke masjid, si pentol ini asyik menunggui pentolnya seakan tanpa salah! Tapi mengapa santri masih ragu “ menjajakan “ produk agama kepada orang lain? Mengapa sebagai santri yang notabene sebagai pioneer islam merasa kurang gaul dan alergi dengan “ koko “ dan kopyahnya ketika berada di “ habitatnya sendiri “ apalagi bila masuk “ sarang “ komunitas lain? Padahal kaum Salibis, artis Nasrani, dengan bangga mempertontonkan kalung salibnya di “ seputar selebritis “ hampir setiap hari.
Untuk menjawab pertanyaan retoris ekstrimis tersebut, perlu mencari obat “ alergi “ yait, pertama, mensinergikan kembai trilogi muslim, iman, islam dan ihsan di setiap hati muslim utamanya remaja/santri. Membetulkan dan meluruskan aqidah bahwa agama adalah keyakinan dan hanya islamlah yang paling tinggi. Fanatisme terhadap islam merupakan sebuah keniscayaan, yaitu dengan selalu mengerjakan apa yang telah diwajibkan islam itu sendiri dan berpegang teguh terhadap sunnah-sunnah pembawa islam yakni Nabi Muhammad SAW. Inilah arti fanatik yang benar, tidak perlu alergi dan tidak usah takut dikatakan radikalis fundamintalis dan macam-macam lebel yang terlanjur dilontarkan kelompok missionaries. Yang kedua, perlu membawa nilai-nilai Islam dan menciptakan sunnah kedalam kehidupan nyata. Hal ini tidak mudah dilakukan apabila tidak timbul dari trilogi muslim diatas. Kesadaran yang tinggi dan keyakinan yang benar terhadap arti fanatic adalah memudahkan seseorang mengamalkan doktrin agama.
Memang islam bukan sekedar “ KTP “ dan “ KTP “ bukan syahadat seorang muslim, tetapi bila seseorang tanpa identitas yang jelas dan tidak memiliki jati diri yang asli dampaknya akan lebih parah, daripada seorang warga tidak diakui kewarganegaraanya karena tidak sempat membuat KTP!. Dan sebenarnya identitas muslim bukan KTP, bukan HP, tapi semua sunnah Nabi.
Penulis adalah staf pengajar SMA Al-Miftah dan Dosen STAI Miftahul Ulum Panyepen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR