Geliat
kaum santri melakukan pengembaraan intelektual sungguh luar biasa. Kaum santri
tidak lagi menjadi manusia yang puas hanya dengan sarung dan kitab kuning.
Mereka memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjelajah keilmuan modern di luar
pesantren. Hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang menuntut setiap
manusia bergerak cepat. Sedikit saja lengah atau mengabaiakan kesempatan, maka
peluang-peluang emas akan terlewatkan. Sebagaimana petuah Ronggowarsito bahwa
di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak kebagian. Tapi,
seberuntung-beruntungnya orang edan, adalah mereka yang senantiasa eling (sadar) dan waspada. Jangan sampai hanya terjebak pada
kenikmatan sesaat yaitu sekedar kenikmatan duniawi.
Nampaknya,
kaum santri ingin menjadi orang yang eling tersebut. Ini karena mereka dibekali
dengan pengetahuan ad-din (agama)
sebagai penyangga kehidupan agar tidak terjebak dalam kubangan hedonisme
semata. Dengan bekal tersebut, mereka telah siap menceburkan diri ke dalam
hiruk-pikuk kehidupan di era modern agar tidak tertinggal zaman. Disinilah para
santri diuji untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan kawan-kawan lain
yang notabene non-santri. Pertarungan di kancah keilmuan pun berlangsung hangat
dan menantang. Inilah wajah baru pendidikan Islam di era kontemporer.
Lebih
lanjut, Asrori S. Karni dalam buku Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, memotret fenomena santri yang sukses meraih kursi di
Universitas ternama. Buku yang akan kita kupas ini, juga mengangat keberhasilan
pendidikan Islam, baik Pesantren, Madrasah, maupun Universitas di segenap
penjuru tanah air. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai
pihak, termasuk pemerintah. Sebelumnya, pendidikan Islam hanya dianggap sebagai
pelengkap saja. Bertahun-tahun, pendidikan Islam terutama pesantren, sama
sekali tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari pendidikan nasional.
Bertahun-tahun
pesantren dan pendidikan Islam lain selalu terpinggirkan. Padahal, telah
ratusan tahun pesantren memberi kontribusi positif bagi generasi bangsa.
Pesantren adalah pendidikan yang selalu terbuka untuk semua kalangan. Siapa pun
asal memiliki kemuan, boleh masuk pesantren tanpa dipandang seberapa besar
kemampuan ekonominya. Para Kyai telah mendidik putra-putri bangsa dengan tulus
ikhlas tanpa mengharap bayaran. Sungguh sangat ironis jika kenyataan ini
diabaikan oleh pemerintah. Apalagi generasi pesantren telah terbukti mampu
memimpin Negara seperti Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya.
Beruntunglah
pemerintah saat ini mulai terbuka dengan pesantren dan bisa mengurangi
diskriminasinya. Sejak dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pesantren dan Madrasah diakui menjadi bagian
integral dari pendidikan nasional. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan adanya
regulasi yang setara, program-program, serta asupan dana dari APBN. Berbagai
beasiswa banyak diberikan Depag kepada sejumlah pesantren yang memiliki sekolah
formal agar para lulusannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Kisah
sukses para santri di Perguruan Tinggi ternama saat ini bukan lagi omong
kosong. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, ada santri lulusan Pondok
Pesantren Khusnul Khatimah, Jalaksana, Kuningan Jawa Barat, bisa masuk ke ITB
Bandung. Ia adalah Muhammad Reza Akbar, putra dari pedagang plastik di Pasar
Tradisional Cidadas, Bandung. Jika melihat ekonomi keluarga, Reza tidak mungkin
berharap kuliah. Beruntung ia bisa mengikuti tes seleksi beasiswa Depag dan
bisa masuk ke ITB Bandung. Selain Reza, ada juga Ahmad Adhim, santri asal
Pesantren Matholiul Anwar, Lamongan. Ia bersama kawan-kawan santri lainnya
berhasil masuk ITS Surabaya dari beasiswa Depag (hal 166).
Terkait
prestasi para santri di Perguruan Tinggi, rupanya mereka tidak kalah saing
dengan mahasiswa yang berasal dari SMU. Bahkan diantara mereka ada yang mampu
meraih skor penuh : 4. Hal ini sebagaimana diraih oleh Yahman Faojio, santri
lulusan MA di Pesantren Raudlotul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Ia berhasil masuk
IPB dan menggondol IP 4. Tentu saja ini menjadi kejutan bukan hanya bagi
pesantren Raudlotul Ulum, tapi juga bagi IPB sendiri. Ini juga membuktikan
bahwa generasi santri mampu bersaing dengan generasi lain yang notabene dari
pendidikan umum. Meskipun diantara mereka juga ada yang kesulitan untuk
beradaptasi sehingga mendapat IP kurang memuaskan. Tetapi semua itu adalah
proses sehingga membutuhkan keuletan dan ketekunan.
Selain
kisah sukses para santri, banyak juga pesantren yang mampu mengembangkan
pendidikannya sehingga mendapat status Mu'adalah (persamaan). Misalnya, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren
Mbah Hamid Pasuruan, Pesantren Pabelan Magelang, dan Pesantren Darussalam
Garut. Adanya status Mu'adalah ini,
sangat memudahkan para lulusan pesantren melanjutkan ke pendidikan formal atau
mendaftar jadi PNS. Kendala ijazah sebagaimana lazim terjadi dahulu, kini bukan
lagi menjadi faktor penghambat. Ini karena ijazah Mu'adalah sudah setingkat pendidikan formal lainnya. Tentu saja, proses
menuju Mu'adalah tidak serta merta (taken for
granted) terjadi, tetapi melalui proses
seleksi yang ketat. Pemerintah harus menilai beberapa hal, seperti komponen
penyelenggara pendidikan, status pesantren, serta penyelenggara pesantren (hal
199).
Dengan
suksesnya pesantren meningatkan kualitas pendidikannya berkat perhatian
pemerintah, ke depan negri ini akan dipenuhi generasi yang cakap dalam
intelektual dan luhur dalam moral. Mereka adalah generasi yang siap memajukan
bangsanya dengan segenap jiwa raga. Bukan generasi bermental uang maupun
kekayaan yang justru akan merusak bangsa ini. Kasus-kasus akut seperti korupsi
yang justru banyak dilakukan oleh 'orang-orang pintar', pada akhirnya akan
sirna karena ke depan orang-orang pintar tersebut lahir dari rahim pesantren
yang berdedikasi tinggi dalam menjaga moralnya.